Memaknai Filosofi Bahasa Visual
February 24, 2020
Add Comment
Tiga artikel sebelumnya menjelaskan tentang bahasa visual. Pada prinsipnya, bahasa visual lebih banyak ke praktik dengan dasar naluriah (terjadi begitu saja) dan teori maupun penjelasan di balik visualisasi itu memerlukan banyak pemikiran yang kompleks. Dalam pembahasan ini, dasar pemikiran tentang bahasa visual menggunakan pendekatan fenomenologi yakni pada (pengalaman dan kesadaran) yang mana sebenarnya bisa diungkap melalui pendekatan lain seperti antropologi, komunikasi, dll. Artikel ini sangat terbuka untuk pembahasan selanjutnya dan merupakan pandangan pribadi penulis. Bahasan dalam artikel ini dimaksudkan untuk berdialog tentang bagaimana visualisasi kemudian menjadi bahasa.
Seperti halnya ketimpangan antara praktik dan teori, bahasa visual pun mengalami praktik yang sangat berkembang sedangkan teori dibalik itu tidak tersusun secara sistematis. Pada zaman filsafat kuno, imaging atau penggambaran digunakan dalam makna spiritual dan selanjutnya pada zaman klasik sebagai bahasa sehari hari untuk mengobrol, lalu perlahan lahan mulai masuk ke pencirian seni. Bahasan visualisasi pada zaman pra-modern, dengan kemajuan teknologi dengan munculnya alat poyeksi film mulai memanipulasi gambar dengan lebih luwes dengan narasi yang besar dan futuristik sehingga munculah ide untuk mencari struktur visual.
Bahasa visual mulai dikaitkan dengan perfilman ketika adanya alat proyeksi yang sangat sederhan yakni camera obscura (1800-an), namun sebelum itupun ada pemahaman lain tentang obscura yakni "kegelapan". Fenomena ini tidak bisa dijelaskan secara tepat kapan terjadinya, namun bila diperbolehkan untuk berspekulasi maka terjadi sejak zaman pra-sejarah dengan munculnya gambar - gambar di gua. Pendapat tersebut juga bersumber bahwa gambaran - gambaran tersebut muncul ketika orang orang prasejarah sedang berdiam di gua atau dalam ruang (tenda) yang gelap untuk merenung atau berfikir. Mungkin setelah beberapa lama, manusia mulai memahami kedalaman makna tentang "imaging" ketika cahaya masuk dan memberikan makna pada kegelapan. Banyak yang berpendapat, bahwa pada zaman filsafat kuno; mengkaitkan penggambaran dari penglihatan dewa atau arwah dan penyembahan dengan menggunakan (memanipulasi) cahaya pada ruang gelap (Ruffles, 2004). Cara yang sama pun bisa seolah menghadirkan kekuatan atau mistisme dalam ritual - ritual yang melibatkan bayangan (dari manipulasi cahaya). Sama halnya yang terjadi dalam Allegory of the cave, dimana keterbatasan indera lain yang kemudian berfokus pada mata dalam kegelapan namun mampu memunculkan "ide".
Visualisasi, obscura dan imaging adalah perpaduan antara berbagai ilmu mulai dari asumsi tentang cahaya, kegelapan, studi tentang penglihatan (cara mata bekerja seperti; Ibnn Al-Haytam, Davinci, Kepler dll), filsafat (Descartes tentang mata dan pikiran atau Locke tentang metafora pemahaman dll) yang pada akhirnya bersinggungan dengan film sehingga perlu munculnya struktur dalam bahasa visual. Praktik bahasa visual harus dibuatkan sistemasinya melalui teori untuk bisa memahami visual lebih lanjut.
Apapun itu memang sangat mendalam, dan memberikan makna spiritual yang berkesan sehingga sering dikatikan dengan keberadaan Illahi. Kegelapan yang kita alami, barulah bisa bermakna bila ada sepercik cahaya seperti bintang bintang di langit, namun memberikan sebuah harapan, keinginan untuk terus mencari tahu (walaupun kita hanyalah cahaya cahaya kecil).
ReferensiRuffles, Tom (2004). Ghost Images: Cinema of the Afterlife. pp. 15–17. ISBN 9780786420056.
0 Response to "Memaknai Filosofi Bahasa Visual "
Post a Comment